Sepetik Cinta Untuk Kekasih



Asha masih terkubur dalam kepedihan yang nyata. Sekujur pikirannya berhenti bekerja hanya untuk mempersilakan jiwanya berpikir jujur. “ Tuhan, jika bahagia, duka, marah, dan rindu hanyalah soal rasa, biarkanlah aku hadapi yang ada dengan rasa yang damai “. Mungkin saja sepetik doa yang penuh harap itu akan tetap bisu, ataukah Tuhan menyempatkan diri untuk mendengarnya, namun dalam sekarat, dia tawar menawar harga dengan sang malaikat maut. Pandangannya buram, kulitnya sepucat salju, nafasnya seperti langkah angsa yang seolah enggan berjalan. 

Lelaki yang duduk di samping tempat tidurnya tampak rapuh. Pelupuk matanya dipenuhi jutaan molekul air yang nyaris saja tumpah. “ siapakah dia? Siapakah laki-laki yang tengah menangisi jasadku selain bapak dan adik lelakiku? Mengapa dia membuang airmatanya demi aku? Seingatku aku hanya punya dua laki-laki, dan itu adalah bapak dan adikku”.

Dia menangis. Menangis untuk sebuah alasan yang tidak dia mengerti. Hingga matanya tertumbuk pada dua orang di seberang ruangan. “bapak! Ibu!”, pekiknya dari dunia yang tak terjamah oleh orang-orang itu. “ ini aku pak, bu. Aku senang kalian ada disini. Mengapa kalian menangis? Ibu, bapak, haruskah aku melihatmu menangis sedang aku tengah berbahagia”. Sunyi. Yang terdengar hanyalah detak jam di dinding dan…. “ detak jantungku? Benarkah ini detak jantungku? Kurasa aku tak mendengar apapun dari dalam tubuhku”.

                
               Jarum jam menunjukkan pukul 7. Dia masih saja bingung dengan dirinya. “ bisakah seseorang memberitahuku mengapa setiap orang menangis. Siang atau malamkah ini? Apakah aku harus terbaring disini sepanjang hidupku?.”

                 Lelaki itu kembali. Ada udara yang hangat ketika laki-laki itu mendekatkan bibirnya dekat sekali dengan telinganya. “ aku tahu kau adalah perempuan kuat. Kau sanggup melakukannya sejauh ini. Jika nafasku sanggup membawamu kembali, ambilah setengah udara yang kuhirup untukmu. Hiduplah! Kau belum membuktikan apapun padaku. Kau takkan pernah membuktikan apapun atas cinta yang kau janjikan jika kau tak hidup. Hiduplah! Aku mohon kembalilah!”. Suara lelaki itu bergetar, sebelum kemudian dia berlari keluar dengan tumpahan airmata serupa badai di musim kemarau. Dia menangis. Menangis untuk sebuah alas an yang tidak dia mengerti.

                Dua orang masuk. Yang satu menyuntikkan sesuatu kedalam kulit tangan kanannya, kemudian di tangan kirinya. Seorang yang lainnya berbicara dengan ibunya. “ Tuhan, beri aku penjelasan”. Bisu. Beberapa orang tampak sibuk. “ delapan kantong darah”, kata seorang laki-laki yang paling pendek disana, tetapi terlihat paling sigap. “ persediaan kosong. Tolong carikan ke ……”. Asha memejamkan mata. “ah, damainya. Sudah lama aku tak tidur. Mungkin aku perlu istirahat sejenak. Nanti, selepas aku bangun dari tidur, aku akan mencari tahu apa yang terjadi”. 
 
                 Satu detik. Dua. Dua setengah detik. Tangan-tangan lembut mengguncang-guncang tubuhnya. Dia terjaga. “ah, ibu. Mengapa kau bangunkan aku. Aku ingin tidur. Aku lelah dengan semua ini”. Ibunya tersenyum, senyum yang dipaksa seceria mungkin. “ bertahanlah”, katanya. “ kau tak tahu kan seberapa banyak orang-orang mencintaimu? Seberapa besar mereka membutuhkanmu? Biar ibu beritahu, tiap tetes airmata mereka adalah hadiah cinta untukmu. Dan sekarang lihatlah! Kaupun sedang menangis. Ibu tahu kau pun mencintai mereka. Bertahanlah! Demi orang-orang yang mencintaimu”. Sang ibu terisak. Airmatanya semakin tak terkendali. “ ibu, kau sedang menghadiahiku cinta. Cinta yang hangat, sebab begitulah rasanya saat airmatamu menetes tepat di pergelangan tangan kananku. Ah!! Apakah aku memang sudah dihidupkan lagi, ataukah aku terlahir kembali?”. Asha bernyanyi. Namun tak seorangpun mendengar, tak seorangpun mengetahuinya. 
sumber: google
 
                Berpuluh satuan waktu tercatat di dinding kamar yang dingin. Setiap mata membisu, tutur mereka hanyalah airmata. Asha belum juga lelap, ataukah memang tidur adalah hal yang paling berdosa yang pernah dilakukannya. 
 
                Berpuluh satuan waktu ke belakang. Asha tengah berperang melawan kematian. Malaikat maut menghunuskan pedangnya, dan Asha melawannya dengan tekad. “hai, sang Algojo Tuhan, aku belum mau menyerah. Kau takkan mengambil apapun dariku selain ruh yang sudah menemaniku selama dua puluh delapan tahun. Dia yang saat ini ada dalam rahimku akan berdoa untuk sebuah ampunan atas rasa sakit yang belum pernah kurasakan sebelumnya”. Waktu tak berjalan lebih cepat atau lebih lambat, dia berjalan sesuai dengan perannya, dan Asha merasakan kelelahan dari rasa sakit yang tak kunjung reda, hingga segelontor darah tersembur bersama sang Matahari.
 
 Tangisan. Ruh yang tertanam dalam jasad terlahir memandang dunia yang baru. Ungkapan syukur terucap dari setiap bibir manusia. Malaikat maut mengibarkan bendera putihnya. Tuhan menyematkan takdir di dadanya. Asha tergolek berusaha kembali ke dunianya, namun sang Tuhan tak menginginkannya begitu. Telunjuk Tuhan mengarah kepada entah, dan sang Malaikat kembali menghunuskan pedangnya tepat di dada Asha. “ambilah ruhku. Aku sudah cukup dengan hidup yang diberikan Tuhan padaku. Biar sisa udara yang ada untuk Matahariku yang baru, jika memang hidup adalah sebatas bernafas. Tapi kurasa Tuhan tak melupakan soal takdir”. Asha menghela nafas berat, terisak dalam kepasrahannya. Tangan-tangan itu menghela tubuh Asha yang kehilangan sebagian hidupnya. Membawanya ke tempat yang mereka sebut Instalasi Gawat Darurat. 
 
                Tangan-tangan yang lain menyentuh seluruh tubuhnya, membuat Asha memuntahkan ribuan sumpah serapah tak terkendali. Dengan sisa tenaga, dia berontak. Menepis kekuatan yang memaksanya diam di tempat. Dia kalah. Udara yang dia hirup nyaris habis. Tangannya menggapai…. (mungkin) langit untuk membuatnya tetap bernafas dan hidup. “bilakah di atas sana masih ada udara untukku? Mengapa kematian serasa begitu menakutkan sekarang?”. Seseorang memasang sebuah alat di wajah Asha, lalu dia mulai merasakan dingin yang perlahan-lahan mengalirkan udara segar kedalam paru-parunya. Hanya satu detik, ketika detik berikutnya rasa sakit mengabaikan udara segar yang menyelamatkan hidupnya.
 
                Jerit Asha menciptakan ketakutan luar biasa bagi orang-orang yang menungguinya di luar. Laki-laki itu menerobos masuk, menepis haluan tangan-tangan yang tak menginginkannya hadir. Dipeluknya Asha. Airmatanya bicara lebih banyak daripada yang ingin dikatakannya. Asha seolah tak mendengar. Jeritannya mengiba, “bawa aku pergi dari sini. Orang-orang biadab ini akan mengambil sesuatu dari tubuhku. Mereka tak punya hak atas jasad yang kupunyai. Bawalah aku. Bawa aku!!!!”. Kedua tangan laki-laki itu mencengkeram lengan Asha dengan kuat. Hatinya memerintahkan dia untuk membawa Asha pergi dan membiarkannya bahagia, namun akal sehatnya menahan kekuatan yang nyaris terburai dari kedua tangannya untuk membiarkannya berjuang sendiri. Sendiri. Dan Asha kecewa.
 
                Jarum jam menunjukkan pukul 11 lewat 20 menit. Tubuhnya membeku. Kulitnya putih pucat. Matanya memandang kosong langi-langit, nafasnya…. Nafasnya bersuara namun tak bernada indah. Laki-laki itu masih menungguinya bersama ibu dan bapaknya. “laki-laki ini… apakah dia kekasihku? Ya. Mungkin saja dia memang kekasihku. Aku melihat cinta yang tulus dari setiap tetes airmatanya, nafasnya, sentuhannya di kepalaku, dalam matanya. 
 
Apakah aku pernah mengabaikannya? Apakah aku pernah mengingkari kebaikan-kebaikannya? Apakah aku sudah mencintainya sebesar cintanya padaku?”. Asha tersenyum. Senyum pertama setelah jeda yang begitu panjang. Matanya lekat menatap laki-laki itu. Beberapa detik yang akan dihabiskannya untuk memandang wajah yang dulu amat dibencinya. Seorang yang menjaga kehormatannya dan menjaminkan cinta di dunia dan akhiratnya. 
 
Beberapa detik sebelum darah yang dialirkan dari tempatnya mengisi kekosongan tubuh pucat yang hampir membusuk. Kematian terlihat mulai menjauh. Asha tak begitu yakin. Namun kematian tak lagi menakutkan. Laki-laki itu mendekat dan Asha tak menyia-nyiakan waktu sebelum Tuhan benar-benar tak menginginkannya lagi di dunia. “aku mencintaimu. Apakah aku sudah pernah mengatakannya padamu? Aku mencintaimu. Aku ingin mencintaimu dengan cara yang mampu kau mengerti. Terima kasih sebab kau habiskan waktumu untuk mencintaiku, dan maafkanlah aku atas ribuan waktu yang kuingkari. Aku mencintaimu saat ini dan esok. 
 
Jika esok itu bukan lagi punyaku, maka kematian ruhku adalah kelahiran bagi cinta yang tak sempat kubuktikan padamu”. Laki-laki itu mengecup kening Asha. “tidurlah. Bagaimanapun perempuan kuat sepertimu membutuhkan jeda untuk beristirahat. Dunia menunggumu. Tapi percayalah!, kau tak akan bertarung sendiri”. Tangannya menghapus jejak samar di pipi Asha. 
 
                Kulit tubuh Asha beranjak kemerahan. Darah yang mengalir kembali dalam jasadnya sedikit demi sedikit menciptakan kehidupan. Matanya terpejam. Damai. “Tuhan, terima kasih karena menjadikanku seperti adanya diriku saat ini”. Bibirnya tersenyum. Lelap. Asha tertidur setelah penantian yang melelahkan.

(December 17, 2009)

Posting Komentar

0 Komentar